Monday, November 22, 2010

Peredaran Kayu Olahan


Peredaran Kayu Olahan
PDFPrintE-mail
Last Updated on Thursday, 19 August 2010 14:24 Written by Risnandar, ST Thursday, 19 August 2010 14:18
PEREDARAN KAYU OLAHAN; KEWENANGAN SIAPA?
peredaran kayu olahan, kayu hutan, kehutananKayu masih menjadi komoditas idola bagi para pelaku usaha di bidang kehutanan. Tak heran apabila keberadaan hasil hutan yang satu ini selalu menjadi sorotan, tak peduli baik yang masih berupa kayu bulat di dalam atau di luar kawasan hutan maupun yang sudah dalam bentuk kayu olahan. Semua pihak merasa berkepentingan dengan lalu-lalang kayu, entah itu dari instansi pemerintah, kepolisian, pelaku usaha maupun masyarakat umum. Dalam rangka mengatur dan mngendalikan peredaran serta pemasaran hasil hutan, khususnya hasil hutan kayu, maka pada tahun 2003 pemerintah dalam hal ini Departemen Kehutanan mengeluarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 126/KPTS-II/2003 tentang Penatausahaan Hasil Hutan.
Dalam peraturan yang ditetapkan pada tanggal 4 April 2003 tersebut, pengendalian peredaran hasil hutan kayu dilakukan oleh pemerintah sejak dari hulu sampai dengan hilir. Artinya kewenangan atas pengangkutan kayu dari mulai ditebang atau dalam bentuk kayu bulat sampai dengan ke tangan konsumen dipegang sepenuhnya oleh pemerintah. Pada era tersebut masyarakat dan para pelaku usaha di bidang kehutanan hanya merupakan pelaku pasif dan tidak mempunyai kewenangan sama sekali terhadap pengangkutan kayu.
Pengendalian atas peredaran hasil hutan kayu oleh pemerintah dilakukan melalui penerbitan dokumen yang berfungsi sebagai alat legalitas pengangkutan kayu yaitu berupa Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH) yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang, dalam hal ini pegawai dari instansi pemerintah terkait. Jadi apapun bentuk kayu yang diangkut, baik berupa kayu bulat maupun olahan dalam pengangkutannya dari hulu sampai ke hilir semuanya menggunakan dokumen SKSHH. Dokumen SKSHH dicetak oleh pemerintah sebanyak 7 (tujuh) rangkap untuk sekali penggunaan, dalam arti untuk satu jenis komoditas, satu alat angkut dan satu tujuan pengangkutan.
Dalam perkembangannya, kebijakan tersebut mulai dirasakan tidak efisien. Hal ini karena untuk pengangkutan satu komoditas apabila terjadi perubahan bentuk komoditas, perubahan tujuan dan alat angkut maka dokumen SKSHH yang diperlukan untuk memenuhi ketentuan tersebut menjadi cukup banyak. Selain itu ketergantungan industri kayu dalam melakukan transaksi (jual beli dan pengangkutan) terhadap pemerintah untuk menerbitkan dokumen pengangkutan juga menyebabkan sektor perindustrian hasil hutan kayu menjadi sulit untuk berkembang. Fenomena ini kemudian menjadi pertimbangan pemerintah untuk menetapkan peraturan baru yang dapat mengakomodir kebutuhan semua pihak dimana legalitas hasil hutan kayu dapat tetap terpantau namun juga tidak menghambat perkembangan industri perkayuan.
Sikap pemerintah atas keinginan tersebut tersebut diwujudkan dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 55/Menhut-II/2006 tentang Penatausahaan Hasil Hutan Yang Berasal dari Hutan Negara. Dalam peraturan yang ditetapkan pada tanggal 29 Agustus 2006 itu pada dasarnya memberikan sebuah paradigma baru dalam peredaran hasil hutan kayu dimana sektor swasta mulai diberi kepercayaan untuk ikut serta dalam penatausahaan kayu. Pemerintah dalam hal ini Departemen Kehutanan dan dinas/instansi terkait hanya terlibat di sektor hulu, artinya peran pemerintah dalam pengendalian legalitas hasil hutan kayu hanya untuk kayu yang masih berada di kawasan hutan. Kayu yang masih berada di dalam kawasan hutan merupakan aset pemerintah dan penatausahaannya menjadi kewenangan pemerintah. Apabila kayu di dalam kawasan hutan negara ditebang dan telah dibayar lunas PSDH (Provisi Sumber Daya Hutan) dan DR-nya (Dana Reboisasi) oleh pihak swasta maka kayu dapat diangkut dengan menggunakan Surat Keterangan Sahnya Kayu Bulat (SKSKB) yang diterbitkan oleh pejabat berwenang dari instansi terkait. Sampai di tahap ini kewenangan pemerintah atas hasil hutan kayu telah berakhir dan dengan demikian untuk selanjutnya penatausahaan kayu tersebut telah menjadi hak pribadi pemilik kayu atau pihak swasta sepenuhnya .
Pengangkutan lanjutan kayu dari dan ke industri dalam bentuk bulat menggunakan Faktur Angkutan Kayu Bulat (FA-KB) sedangkan untuk bentuk olahan menggunakan Faktur Angkutan Kayu Olahan (FA-KO). Faktur angkutan tersebut dicetak dan diterbitkan sendiri oleh pemilik kayu atau pihak swasta dengan memenuhi ketentuan yang telah ditetapkan.
Kayu legal yang sudah dalam bentuk olahan maka sudah dapat dipastikan bahwa kayu tersebut telah melewati proses pemenuhan kewajiban hak negara atas hasil hutan. Dalam artian telah dibayar lunas biaya-biaya yang dibebankan sehingga kayu tersebut menjadi hak pemilik kayu atau pihak swasta sepenuhnya. Dari sini jelas bahwa peredaran kayu olahan merupakan kewenangan atau hak pemilik kayu sepenuhnya, meskipun pemerintah masih mempunyai wewenang untuk melakukan pengawasan dan pembinaan baik terhadap industri maupun pejabat penerbit fakturnya. Namun yang terjadi di lapangan adalah masih terjadi ketidaksepahaman antara berbagai pihak baik dinas/instansi terkait maupun pihak kepolisian mengenai peredaran kayu olahan yang telah menjadi aset pribadi pemilik kayu atau pihak swasta tersebut.
Kebijakan pemerintah untuk mengikutsertakan pihak swasta dalam penatausahaan hasil hutan ini masih belum dipahami dengan baik oleh pihak-pihak yang terkait dengan peredaran kayu olahan. Sehingga di berbagai tempat masih saja terjadi tarik ulur kewenangan atas pengangkutan dan peredaran kayu olahan dengan alasan mengamankan hak negara dan memastikan legalitas hasil hutan. Tidak hanya di lapangan tetapi bahkan sampai menuju proses hukum, walaupun terkadang pada akhirnya dengan pernyataan dari saksi ahli kasus tersebut tidak dapat disidangkan. Hal inilah yang banyak dikeluhkan oleh para pengusaha kayu atau pihak swasta yang bergerak di bidang jual beli kayu dimana hal tersebut menyebabkan terhambatnya  proses transaksi dan peredaran kayu olahan. Agar tidak semakin melebar maka sudah sepatutnya apabila segala sesuatu yang terkait dengan peredaran kayu olahan dikembalikan lagi pada peraturan yang telah ditetapkan.
Menyikapi kondisi demikian tampaknya diperlukan perhatian serius dan tindakan nyata dari pemerintah sehingga tercapai satu pemahaman dan satu persepsi antara berbagai pihak yang terkait dengan peredaran kayu olahan. Semua pihak yang berkepentingan tersebut, baik pemilik kayu atau pihak swasta, dinas /instansi terkait dan pihak kepolisian perlu duduk bersama dengan dilandasi satu pemikiran untuk mengutamakan kepentingan negara sehingga pada akhirnya akan didapatkan titik temu yang menguntungkan bagi semua pihak. Hal ini dapat diupayakan antara lain melalui kegiatan sosialisasi peraturan yang berkaitan dengan peredaran kayu olahan dan diskusi terbuka sehingga dapat tercapai kesepakatan bersama. Apabila kegiatan tersebut dapat dilaksanakan secara kontinyu dan kesepakatan yang ada juga dilaksanakan secara konsisten maka bukan tidak mungkin peredaran kayu olahan tidak lagi menjadi ajang perebutan kewenangan tetapi justru akan memberikan keuntungan bagi semua pihak.
Oleh : Tri Kuncorowati, S.Hut (PEH Ahli Pertama pada BP2HP Wilayah IX Denpasar)


No comments:

Post a Comment

Please comment, and let's share
and exchange knowledge. But
still keep the decency to not
make comments & SPAM